- Back to Home »
- Liberal »
- Meluruskan Kesalahan DR. Azhari Akmal Tarigan (Volume 1)
Posted by : 'Asyirah Aswaja Sumut
Selasa, 06 Oktober 2015
"Ibrahim As yang disebut bapak monotheisme juga melakukan proses pencarian tuhan. Ketika ia menolak berhala yang dibuat bapaknya sebagai tuhan, ia menjadi atheis. Dan ketika ia mengakui bintang, lalu bulan, kemudian matahari, walaupun selanjutnya ia mengingkari nya, menurut penulis ia telah menjadi politheis (syirik). Yang menarik proses tauhid ini direkam dengan baik oleh Al-Quran sebagai penghargaan terhadap orang-orang yang selalu berusaha menemukan Tuhan. Lihat Q.S. Al-An'am/6: 76-78" (inilah pernyataan miring Akmal Tarigan, dekan difak. Ekonomi UIN SU disalah satu buku yang ia tulis)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pemikiran
yang ditawarkan di atas sebenarnya bukan pemikiran baru yg sering diobral oleh orang-orang
"LIBERAL", untuk mengobrak-abrik agama Islam yang suci ini.
Kendatipun masalah ini sudah biasa dikalangan LIBERAL namun kita merasa pantas
menanggapi masalah ini. Terlebih, yang menyatakannya ini ialah seorang dosen
yang aktif mengajar di UIN SU. Ada beberapa hal yg perlu disoroti dari
"fitnah keji" Akmal Tarigan (selanjutnya akan kami tulis dengan AT)
di atas yang ia tuduhkan kepada Nabi Ibrahim 'alaihissalam.
Pertama,
AT berkeyakinan bahwa ayah Nabi Ibrahim adalah seorang penyembah dan pembuat
patung.
Jawab:
Mungkin yang dimaksud oleh AT ialah Azar, jelas pendapat ini sangat keliru dan
tidak mendasar, pernyataan bahwa ayah Nabi Ibrahim ini ialah penyembah patung
hanyalah dikutip dari kisah-kisah Israiliyyat, yang tidak bisa diterima kebenarannya.
Adapun Azar yang secara jelas mati kafir, ulama’ menyatakan ia bukanlah bapak
Nabi Ibrahim yang sebenarnya tetapi dia adalah bapak asuhNya dan juga pamanNya.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda : (قال رسول الله (( لم
ازل انقل من اصلاب الطاهرين الى ارحام الطاهرات ) “ Aku (Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallama) selalu berpindah dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci menuju
rahim-rahim perempuan yang suci pula” dari hadits di atas maka sangat jelas
Rasulullah menyatakan, kakek dan nenek moyang Beliau adalah orang-orang yang
suci bukan orang-orang musyrik karena mereka dinyatakan najis dalam Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ
نَجَسٌ “Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”. Maka pernyataan bahwa ayah
Nabi Ibrahim ialah penyembah patung jelas keliru dan tidak mendasar.
Kedua,
AT menyatakan bahwa Nabi Ibrahim pernah mengalami masa atheis (tidak bertuhan)
bahkan menurutnya Nabi Ibrahim pernah syirik kepada Allah, na'udzubillah.
Jawab:
Pernyataan di atas sungguh lah merupakan fitnah yang sangat keji yang
disematkannya kepada seorang utusan Allah subhanahu wata'ala, seorang Nabi yang
terpilih untuk menyampaikan risalah-risalah Tauhid yang benar. Sesungguhnya
kisah Nabi Ibrahim bukanlah seperti asumsi yang beredar selama ini bahwa Nabi
Ibrahim adalah Bapak Monoteisme karena petualangannya mencari Tuhan, ini
hanyalah cerita dongeng yang sengaja dibuat oleh orang-orang yang ingin merusak
Islam. Oleh karenanya, layaklah untuk dicermati arti dari QS. Al-An’am ayat
76-78 sebagai berikut: "Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim)
melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata,“Inilah Tuhanku”. Maka ketika bintang
itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam”.(76) Lalu
ketika dia melihat bulan terbit dia berkata,“inilah Tuhanku”. Tetapi ketika
bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. (77) Kemudian ketika
dia melihat matahari terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar”.
Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, ” Wahai kaumku! Sungguh aku
berlepas diri apa yang kamu persekutukan”. (78) YAang perlu dicermati dari
terjemahan ayat Alquran di atas adalah kalimat “Inilah Tuhanku (Hadza
Rabbi)“.
Dari
kalimat itulah bersumber kesalapahaman yang diobral oleh orang-orang LIBERAL.
Padahal, makna hadza rabbi (inilah tuhanku) bukanlah bermakna ikhbar
(pernyataan) tetapi bermakna Istifham Ingkari/Istifham Taubikhi (pertanyaan
untuk mengingkari/mencela pola pikir kaumnya yang menyembah bintang). Jadi
makna kalimat “inilah Tuhanku” seharusnya diartikan dan ditulis dengan “inikah
Tuhanku?”. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Abu Hayyan al-Andalusi (W. 745 H/
1345 M), ia berkata dalam tafsirnya An-Nahrul Mad: "Perkataan Nabi Ibrahim
hadza rabbi bukanlah pernyataan keyakinan bahwa bintang (Yupiter atau Venus),
bulan dan matahari adalah tuhannya.
Hal
ini diibaratkan seperti ketika kamu melihat orang lemah yang tak mampu berdiri,
lalu kamu mengatakan hadza nashiri (inikah penolongku?)”. Demikian juga
pernyataan Imam Fakhruddin Ar-Razi (W. 606 H/ 1210 M) dalam kitabnya Ishmatul
Anbiya’: “Kalimat hadza rabbi datang ala wajhi al-I’tibar wa al-istidlal La
‘ala wajhi al-ikhbar(datang untuk memberi ibrah [pelajaran] dan mencari dalil
[bahwa bintang, bulan dan matahari yang disembah kaumnya Nabi Ibrahim adalah
tidak benar], bukan sebagai statement/ pernyataan apalagi keyakinan.”
Hal
kedua yang perlu dtekankan, semua Nabi termasuk Ibrahim terpelihara atau dijaga
oleh Allah dari kekufuran, syirik, melakukan dosa besar dan dosa kecil yang
menghinakan mereka. Maka mustahil bagi seorang penyampai dakwah rabbaniyah
(ketuhanan) dan pembawa misi ilahiyah tidak mengenal Tuhan yang ia sembah,
padahal ialah yang menjadi utusan tersebut.
Imam
al-Qadli ‘Iyadl (W. 544 H/ 1149 M) mengatakan dalam Asy-Syifa: “Sesungguhnya
para Nabi itu ma’shum (terpelihara) baik sebelum maupun sesudah menjadi Nabi
dari kebodohan, keraguan (walau sedikit saja) dan ketidakmengenalan mereka
terhadap Tuhan dan sifat-sifatNya”. dalam hal ini Allah berfirman dalam QS.
Al-Anbiya’ ayat 51: “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim
Rusydahu [Petunjuk kebenaran] sebelumnya (sebelum ia mencapai umur balig [tafsir
Imam Mujahid W. 104 H])”. Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum Nabi Ibrahim
berdakwah, Nabi Ibrahim telah diberikan iman yang kokoh dan pengetahuan bahwa
hanya Allah Tuhan yang layak disembah bukan bulan, bintang, matahari dan lain
sebagainya. Sedangkan konteks surat al-An’am ayat 76-78 di atas adalah
disebabkan kondisi (medan dakwah) kaum Nabi Ibrahim yakni kaum Harran yang
gemar terhadap ilmu astronomi bahkan mereka sampai menyembahnya (bintang, bulan
dan matahari). sebab itulah kemudian Allah mengutus Nabi Ibrahim kepada mereka
dengan membawa argumentasi yang kuat. Bahwa, Apakah layak sesuatu yang terbit
lalu tenggelam, sesuatu yang berubah, dan tidak dapat memberikan manfaat dan
mudarat untuk dijadikan Tuhan? Oleh karena itu Ibrahim berkata kepada kaumnya
La uhibbul afilin (Saya tidak suka sesuatu yang tenggelam).
Dalam
tafsir Jalalain (karya Jalaluddin al-Mahalli W. 864 H/ 1459 M dan Jalaluddin
as-Suyuthi W. 911 H/ 1505 M) dijelaskan: “Saya tidak suka sesuatu yang
tenggelam untuk dijadikan tuhan, sebab tuhan itu tidak patut mempunyai sifat
yang berubah-rubah, bertempat dan berpindah-pindah. Karena sifat-sifat itu
hanya pantas disandang oleh makhluk”. Dari sini maka dikenal di kalangan Ulama
alasan Nabi Ibrahim dijuluki dengan Hujjatullah (Nabi yang diberikan kekuatan
dalil argumentasi yang kuat oleh Allah untuk mematahkan keyakinan kaumnya yang
sesat). “Dan itulah ‘Hujjah Kami’ yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghadapi kaumnya”. (QS al-An’am: 83) Di samping Nabi Ibrahim juga pernah
mematahkan pendapat konyol Raja Namrud bin Kan’an yang mengaku sebagai tuhan
dengan memerintahkannya agar menerbitkan matahari dari barat, fabuhital ladzi
kafar (maka terbungkamlah Raja Namrud). (QS al-Baqarah: 258) Adapun dalil lain,
menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah mencari-cari Tuhan atau kebingungan
dan mengeluh siapa tuhannya adalah QS. Al-An’am ayat 79: “Aku hadapkan wajahku
kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan
(mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
Kemudian, QS. Ali Imran ayat 67: “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan
(pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif/lurus lagi muslim
(seorang yang tidak pernah mempersekutukan Allah dan jauh dari kesesatan) dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik (tidak pernah musyrik
sama sekali baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya).”
Sejatinya,
makna surat al-An’am 76-78 berdasarkan keterangan di atas adalah sebagaimana
berikut: “Ketika malam telah menjadi gelap, Nabi Ibrahim melihat sebuah bintang
lalu ia menyatakan “Inikah Tuhanku?sebagaimana kalian kira?”. Maka ketika
bintang itu terbenam dia menyatakan, “Aku tidak suka kepada yang terbenam”
yakni layakkah sesuatu yang terbenam dijadikan tuhan sebagaimana yang kalian
yakini? Maka ketika kaumnya tidak memahami maksud pernyataan Nabi Ibrahim
tersebut bahkan mereka tetap menyembah bintang, maka Nabi Ibrahim menyatakan
untuk kedua kalinya ketika ia melihat Bulan dengan pernyataan yang sama “Inikah
Tuhanku?”. Demikian Nabi Ibrahim mengulangi kembali pernyataannya ketika
melihat matahari “Inikah Tuhanku?”. Lalu ketika Nabi Ibrahim tidak dapat
memberikan kesadaran/hidayah terhadap kaumnya maka ia menyatakan kepada kaumnya
inni bariun mimma tusyrikun (Sungguh, aku berlepas diri [tidak bertanggungjawab
dan tidak ikut menyembah bintang] dari apa yang kalian persekutukan. Semoga
kita termasuk orang-orang yang Allah jaga aqidah dan iman kita, sehingga tidak
mudah kita mengarang karya fiktif yang menyudutkan keimanan kita. Amiiiin..
Wallahu waliyyuttaufiq..
oleh
: Ustadz Muzani Al Fadani
(Ketua
Biro Dakwah 'Asyirah ASWAJA SUMUT)