Blogger Widgets

Popular Post

Archive for Januari 2015

DIALOG SUNNI VS WAHABI MENGENAI MAULID NABI

By : 'Asyirah Aswaja Sumut


Wahabi: Mengapa anda mengerjakan Maulid. Padahal itu bidah.

Sunni: Maulid itu perbuatan baik, dan setiap kebaikan diperintah oleh agama untuk
dikerjakan.

Wahabi: Mana dalilnya?.

Sunni: Allah SWT berfirman dalam al-Quran:

ﻭَﺍﻓْﻌَﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
Kerjakanlah semua kebaikan, agar kamu beruntung. (QS. al-Hajj : 77).

Maulid itu termasuk kebaikan, karena isinya sedekah, mempelajari sirah Nabi SAW dan membaca shalawat. Berarti masuk dalam keumuman perintah dalam ayat tersebut.

Wahabi: Itu kan dalil umum. Tolong carikan dalil khusus dalam al-Quran yang menganjurkan Maulid.

Sunni: Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, tolong jelaskan dalil anda yang melarang Maulid.

Wahabi: Dalil kami sangat jelas. Maulid itu termasuk bidah. Setiap bidah pasti sesat.
Rasulullah SAW bersabda: Kullu bidatin dholalah.Setiap bidah adalah sesat.

Sunni: Ah, kalau begitu dalil anda sama dengan dalil kami, sama-sama dalil umum. Yang saya minta adalah, jelaskan ayat atau hadits yang secara khusus melarang maulid.
Di sini, ternyata si Wahabi mati kutu, dan tidak bisa menjawab.

Akhirnya si Sunni berkata: Anda percaya kepada Syaikh Ibnu Taimiyah?

Wahabi: Ya tentu. Beliau itu Syaikhul Islam, ulama besar, dan inspirator dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, panutan kami kaum Wahabi.

Sunni: Syaikh Ibnu Taimiyah, membenarkan dan menganjurkan Maulid, dalam kitabnya Iqtidha al-Shirath al-Mustaqim, hal. 621. Lalu si Sunni menunjukkan teks asli kitab tersebut. Akhirnya si Wahabi terkejut dan terperangah. Mukanya seketika menjadi pucat. Kitab tersebut, dia bolak balik, ternyata penerbitnya juga orang Wahabi di Saudi Arabia. Akhirnya ia berkata:

Wahabi: Syaikh Ibnu Taimiyah itu manusia biasa. Bisa salah dan bisa benar. Masalahnya
Maulid ini tidak memiliki dasar agama yang dapat dipertanggung jawabkan.

Sunni: Menurutmu, dasar agama itu apa saja?

Wahabi: Al-Quran dan Sunnah saja. Selain itu tidak ada lagi.

Sunni: Sekarang saya bertanya kepada Anda. Bagaimana hukum seorang anak memukul orang tuanya?

Wahabi: Jelas haram dan dosa besar.

Sunni: Tolong jelaskan dalil al-Quran atau hadits yang melarang memukul orang tua.

Wahabi: Allah SWT berfirman dalam al-Quran;

ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻘُﻞْ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺃُﻑٍّ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻨْﻬَﺮْﻫُﻤَﺎ
Maka janganlah kamu berkata uff kepada kedua orang tua dan jangan pula membentaknya.
Dalam ayat tersebut, Allah melarang seorang anak berkata uff, atau berdesis terhadap orang tua, karena jelas akan menyakiti mereka. Apabila berkata uff saja dilarang karena menyakiti, apalagi memukul. Tentu lebih berat dalam hal menyakiti, dan keharamannya lebih berat pula dari pada sekedar berkata uff.

Sunni: Owh, ternyata di sini Anda menggunakan
dalil Qiyas. Tadi Anda berkata, dalil itu hanya al-Quran dan Sunnah. Sekarang justru Anda
menggunakan dalil Qiyas. Berarti Anda mengakui Qiyas termasuk dalil, selain al-Quran dan Sunnah.

Wahabi: Ini kan Qiyas aulawi, dalam artian hukum yang dihasilkan oleh produk Qiyas, lebih kuat dari pada yang ditunjuk oleh teks.

Sunni: Harusnya Anda tidak membatasi dalil pada al-Quran dan Sunnah saja. Tetapi juga
menyebutkan Qiyas, sebagaimana dipaparkan oleh seluruh ulama salaf. Anda tahu, bahwa menurut teori Ushul Fiqih, yang juga diakui oleh Ibnu Taimiyah, produk hukum Qiyas aulawi, lebih kuat dari pada hukum yang diproduk oleh teks. Dalam artian, memukul orang tua lebih haram dan lebih besar dosanya dari pada hanya sekedar berkata uff, karena volumenya dalam menyakiti lebih keras.

Wahabi: Di mana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan itu?

Sunni: Dalam kitab al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh. Kemudian si Sunni menunjukkan teks
pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut. Akhirnya si Wahabi semakin senang, karena
kesimpulan hukumnya sesuai dengan kaedah yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam-nya.

Wahabi: Terus apa hubungan pertanyaan Anda, dengan persoalan Maulid yang kita diskusikan?

Sunni: Hukum memukul orang tua lebih haram dari pada sekedar berkata uff. Logikanya begini, Anda tahu mengapa umat Islam dianjurkan puasa Asyura?

Wahabi: Ya saya tahu. Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan:

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ - ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ - ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺪِﻡَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔَ ﻓَﻮَﺟَﺪَ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻳَﺼُﻮﻣُﻮﻥَ ﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻋَﻦْ
ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﺃَﻇْﻬَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻴﻪِ ﻣُﻮﺳَﻰ ﻭَﺑَﻨِﻰ ﺇِﺳْﺮَﺍﺋِﻴﻞَ ﻋَﻠَﻰ
ﻓِﺮْﻋَﻮْﻥَ ﻓَﻨَﺤْﻦُ ﻧَﺼُﻮﻣُﻪُ ﺗَﻌْﻈِﻴﻤًﺎ ﻟَﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -
« ﻧَﺤْﻦُ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﻤُﻮﺳَﻰ ﻣِﻨْﻜُﻢْ » . ﻓَﺄَﻣَﺮَ ﺑِﺼَﻮْﻣِﻪِ .
Dari Ibnu Abbas RA berkata: Rasulullah SAW datang ke Madinah, lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa Asyura. Lalu mereka ditanya, maka mereka menjawab; Pada hari Asyura ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil menghadapi Firaun, maka kami berpuasa pada hari tersebut karena mengagungkannya. Lalu Nabi SAW bersabda: Kami lebih dekat kepada Musa dari pada kalian. Maka Nabi SAW memerintahkan umat Islam berpuasa.

Sunni: Nah di sinilah hubungannya dengan Maulid. Memukul orang tua tadi Anda katakana lebih haram dari pada sekedar berkata uff. Kemenangan Nabi Musa AS layak dirayakan dengan ibadah puasa, sedangkan lahirnya Rasulullah Muhammad SAW jelas lebih agung dari pada kemenangan Musa. Apabila kemenangan Musa AS layak dirayakan dengan suatu ibadah, maka sudah barang tentu lahirnya Nabi Muhammad SAW lebih layak dirayakan dengan acara Maulid.

Wahabi: Owh jadi begitu ya, maksudnya. Apakah ada ulama yang menjelaskan pengambilan hokum Maulid dengan yang Anda sebutkan tadi dari kalangan ulama besar?

Sunni: Ya banyak sekali, antara lain al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Hafizh al-Suyuthi.

Wahabi: Tapi ada satu hal, yang saya kurang setuju dalam perayaan Maulid. Yaitu berdiri ketika membaca Ya Nabi. Itu jelas tidak ada dasarnya.

Sunni: Anda pernah menonton orang-orang Wahabi di Saudi Arabia, ketika membaca nasyid
(syair atau lagu), secara berjamaah dan berdiri? Kalau tidak tahu, silahkan Anda cari di Youtube, di situ banyak sekali. Itu mengapa mereka lakukan?

Wahabi: Ya itu kan bernyanyi dan bersyair bersama. Kalau dengan cara duduk kurang asyik
dan kurang nikmat.

Sunni: Maulid juga begitu. Kalau menyanyikan Ya Nabi Salam sambil duduk, dengan suara yang keras, kurang asyik juga dan kurang terasa khidmat. Jadil hal ini tidak ada kaitannya dengan wajib atau sunnah.

Akhirnya si Wahabi mengakui kebenaran Maulid secara syar'i.

Alhamdulillah. Semoga bermanfaat
Tag : ,

Pengertian Bid’ah

By : 'Asyirah Aswaja Sumut


Supaya Jangan Sembarangan Mengklaim Ahli Bid'ah Kepada Orang Lain (Hakekat Bid'ah Lengkap Dari a Sampai z, Mewaspadai Wahabi).



Pengertian Bidah

Bidah dalam pengertian bahasa adalah:

مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.

Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mujam Mufradat Alfazh al-Quran, menuliskan sebagai berikut:

اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ

Kata Ibda artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi digunakan untuk al-Mubdi (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi juga digunakan untuk al-Mubda (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi, artinya: Bejana air yang unik (dengan model baru). Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi dan al-Mubda, artinya berlaku untuk makna Fail (pelaku) dan berlaku untuk makna Maful (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bidan Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku (artinya penggunaan dalam makna Maful), menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan (artinya penggunaan dalam makna Fail) (Mujam Mufradat Alfazh al-Quran, h. 36).

Dalam pengertian syariat, bidah adalah:

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.

Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Quran maupun dalam hadits. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)

Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-Arabi menuliskan sebagai berikut:

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.

Perkara yang baru (Bidah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bidah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bidah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan.

Macam-Macam Bidah

Bidah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bidah Dlalalah. Disebut pula dengan Bidah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Quran dan Sunnah.

Kedua: Bidah Huda atau disebut juga dengan Bidah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Quran dan Sunnah.

Al-Imam asy-Syafii berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bidah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Quran, Sunnah, maupun Ijma, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafii) (Manaqib asy-Syafii, j. 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafii berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

Bidah ada dua macam: Bidah yang terpuji dan bidah yang tercela. Bidah yang sesuai dengan Sunnah adalah bidah terpuji, dan bidah yang menyalahi Sunnah adalah bidah tercela. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bidah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

Dengan demikian bidah dalam istilah syara terbagi menjadi dua: Bidah Mahmudah (bidah terpuji) dan Bidah Madzmumah (bidah tercela).

Pembagian bidah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syariat ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: Ma Laisa Minhu, artinya Yang tidak sesuai dengannya, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syariat. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syariat maka ia tidak tertolak.

Bidah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bidah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bidah dalam cabang-cabang agama, yaitu bidah dalam Furu, atau dapat kita sebut Bidah Amaliyyah. Bidah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

Dalil-Dalil Bidah Hasanah

Al-Muhaddits al-Allamah as-Sayyid Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shunah Fi Tahqiq Mana al-Bidah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bidah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shunah, h. 17-28):

1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)

Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah (Q.S. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bidah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.

Dalam ayat di atas Allah mengatakan Ma Katabnaha Alaihim, artinya: Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)

Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna sanna tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.

3. Hadits Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bidah hasanah. Karena seandainya semua bidah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bidah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bidah hasanah.

4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bidah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjamaah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bidah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjamaah ini, dan mengatakan: Nimal Bidatu Hadzihi. Artinya, sebaik-baiknya bidah adalah shalat tarawih dengan berjamaah.

Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Abdullah ibn Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya Abdullah ibn Umar mengatakan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.

Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, Abdullah ibn Umar berkata: Wa Ana Zidtuha..., artinya: Saya sendiri yang menambahkan kalimat Wahdahu La Syarika Lah.

6. Abdullah ibn Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bidah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)

Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis. (HR. Said ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)

Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat Abdullah ibn Umar mengatakan:

بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)

Shalat Dluha adalah bidah, dan ia adalah sebaik-baiknya bidah. (HR. Ibn Abi Syaibah)

Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.

7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi, bahwa ia (Rifaah ibn Rafi) berkata: Suatu hari kami shalat berjamaah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku, beliau membaca: Samiallahu Lima Hamidah. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah.... Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak matsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang matsur (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:

هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.

Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: Wa La Yaizzu Man Adaita sebelum Tabarakta Wa Taalaita. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat Fa Laka al-Hamdu Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafii mengatakan: Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).


Beberapa Contoh Bidah Hasanah Dan Bidah Sayyi-ah

Berikut ini beberapa contoh Bidah Hasanah. Di antaranya:

1. Shalat Sunnah dua rakaat sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)

Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata Sanna untuk menunjukkan makna merintis, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna sanna di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.

Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua rakaat ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:

صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.

Dua rakaat shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Istiab) (al-Istiab Fi Marifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)

2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jumat oleh sahabat Utsman bin Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Quran oleh Yahya ibn Yamur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Quran tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Quran tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.

Demikian pula di masa Khalifah Utsman ibn Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Quran. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bidah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Yamur. Yahya bin Yamur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat Abdullah ibn Umar dan lainnya.

Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Quran, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bidah yang diharamkan?!

4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bidah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!

5. Peringatan Maulid Nabi adalah bidah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.

6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bidah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.

7. Menulis kalimat Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam setelah menulis nama Rasulullah termasuk bidah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.

8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bidah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.

Berikut ini beberapa contoh Bidah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:

1. Bidah-bidah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:

A. Bidah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.

B. Bidah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.

C. Bidah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

D. Bidah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bidah sesat ini adalah Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.

2. Bidah-bidah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari Shallallahu Alaihi Wa Sallam setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi SAW. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf shad saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bidah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bidah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.


Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bidah Hasanah

1. Kalangan yang mengingkari adanya bidah hasanah biasa berkata: Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)

Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Quran dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bidah sesat .

Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bidah tersebut adalah bidah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Quran, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: Sabda Rasulullah Kullu Bidah dlalalah ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bidah itu sesat (bukan mutlak semua bidah itu sesat) (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bidah menjadi lima macam. Beliau berkata: Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: Ia (Shalat Tarawih dengan berjamaah) adalah sebaik-baiknya bidah.

Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata Kullu sebagai takid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)

Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata Kull.

Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits Wa Kullu Bidah Dlalalah riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bidah hasanah.

==============================

2. Kalangan yang mengingkari bidah hasanah biasanya berkata: Hadits Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi.

Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil.

Kita katakan kepada mereka: Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku), atau juga tidak mengatakan: Man Amila Amalan Ana Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja.

Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada hawa nafsu belaka.

==============================

3. Kalangan yang mengingkari bidah hasanah terkadang berkata: Hadits riwayat Imam Muslim: Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama.

Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya.

Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bidah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!

===============================

4. Sebagian kalangan yang mengingkari bidah hasanah mengatakan: Bukan hadits Wa Kullu Bidah Dlalalah yang di-takhshish oleh hadits Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama.

Jawab:
Ini adalah penafsiran ngawur dan seenak perut belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am dan kalimat Khas. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:

فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.

Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: Wa Kullu Bidah Dlalalah. Dan bahwa sesungguhnya bidah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela.

As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:

قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.

Sabda Rasulullah: Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bidah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara atau tidak.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.

Cara mengetahui bidah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara berarti termasuk bidah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bidah yang buruk (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.

Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bidah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bidah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.


Oleh : Aboufateh

- Copyright © Asyirah Aswaja Sumut - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by 'Asyirah Aswaja Sumut -