- Back to Home »
- lain-lainnya »
- ISLAM PRO TRADISI VS WAHABI ANTI TRADISI
Posted by : 'Asyirah Aswaja Sumut
Minggu, 18 Januari 2015
WAHABI: “Mayoritas umat Islam Indonesia itu ahli bid’ah, karena mereka masih kuat memegang tradisi-tradisi
yang berkembang dari nenek moyang mereka sebelumnya. Sedangkan Islam itu jelas
anti tradisi. Islam itu hanya al-Qur’an dan hadits saja.’
SUNNI: “Pernyataan Anda berangkat dari konsep yang keliru,
yakni beranggapan bahwa Islam anti tradisi. Padahal tidak demikian. Dalam pernyataan
Anda ada dua kesalahan fatal. Pertama, menganggap dasar Islam hanya al-Qur’an dan hadits. Padahal sejak masa ulama salaf, dasar
agama itu ada empat, al-Qur’an, hadits, ijma’ dan Qiyas. Kedua, Anda berasumsi bahwa Islam anti
tradisi. Padahal tidak demikian. Tradisi itu ada yang dapat diterima oleh Islam
dan ada yang tidak dapat diterima. Cara berpikir Anda sangat picik dan sempit.”
WAHABI: “Mana dalil Anda bahwa Islam dapat menerima tradisi?”
SUNNI: “Anda harus memahami, bahwa Islam itu agama. Islam
bukan budaya dan bukan tradisi. Tapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti
budaya dan tradisi. Bahkan ketika suatu budaya dan tradisi masyarakat yang
telah berjalan tidak dilarang dalam agama, maka dengan sendirinya menjadi
bagian dari syari’ah
Islam. Demikian ini sesuai dengan dalil-dalil al-Qur’an, Hadits dan atsar kaum salaf yang dipaparkan oleh
para ulama dalam kitab-kitab yang mu’tabar (otoritatif).
1. Tradisi menurut al-Qur’an.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف:
199)
“Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada
orang-orang yang bodoh.”.
(QS. al-A’raf
: 199).
Dalam ayat di atas Allah
memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang
ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik.
Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:
وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ
الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْفُ
“Yang
realistis, maksud dari ‘uruf
dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah
dikenal masyarakat.”
(Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2/836).
Penafsiran ‘urf dengan tradisi yang baik dan telah dikenal
masyarakat dalam ayat di atas, sejalan dengan pernyataan para ulama ahli
tafsir. Al-Imam al-Nasafi berkata dalam tafsirnya:
(وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) هُوَ كُل ُّخَصْلَةٍ يَرْتَضِيْهَا الْعَقْلُ وَيَقْبَلُهَا الشَّرْعُ.
“Suruhlah
orang mengerjakan yang ‘urf
, yaitu setiap perbuatan yang disukai oleh akal dan diterima oleh syara’.” (Tafsir al-Nasafi, juz 2 hlm 82).
Al-Imam Burhanuddin Ibrahim
bin Umar al-Biqa’i
juga berkata:
(وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) أَيْ بِكُلِّ مَا عَرَفَهُ الشَّرْعُ وَأَجَازَهُ، فَإِنَّهُ مِنَ
الْعَفْوِ سُهُوْلَةً وَشَرَفاً
“Suruhlah
orang mengerjakan yang ‘urf,
yaitu setiap perbuatan yang telah dikenal baik oleh syara’ dan dibolehkannya. Karena hal tersebut termasuk sifat
pemaaf yang ringan dan mulia.” (Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, juz
3 hlm 174).
Oleh karena yang dimaksud
dengan ‘urf dalam ayat di
atas adalah tradisi yang baik, al-Imam al-Sya’rani berkata:
وَمِنْ أَخْلاَقِهِمْ أَي السَّلَفِ الصَّالِحِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ تَوَقُّفُهْم عَنْ كُلِّ فِعْلٍ أَوْ
قَوْلٍ حَتَّى يَعْرِفُوْا مِيْزَانَهُ عَلىَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَوِ
الْعُرْفِ، لأَنَّ الْعُرْفَ مِنْ جُمْلَةِ الشَّرِيْعَةِ، قَالَ
اللهُ تَعَالَى: خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ
الْجَاهِلِينَ
(الأعراف:
199)
“Di
antara budi pekerti kaum salaf yang shaleh, semoga Allah meridhai mereka,
adalah penundaan mereka terhadap setiap perbuatan atau ucapan, sebelum
mengetahui pertimbangannya menurut al-Qur’an dan hadits atau tradisi. Karena tradisi termasuk bagian
dari syari’ah.
Allah SWT berfirman: ““Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada
orang-orang yang bodoh.”.
(QS. al-A’raf
: 199).” (Al-Imam al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hlm 14).
Paparan di aras memberikan
kesimpulan, bahwa tradisi dan budaya termasuk bagian dari syari’ah (aturan agama), yang harus dijadikan pertimbangan
dalam setiap tindakan dan ucapan, berdasarkan ayat al-Qur’an di atas.”
WAHABI: “Owh, ternyata ajaran al-Qur’an tidak menolak tradisi dan budaya, selama tidak
bertentangan dengan agama. Sekarang, apakah ada dalil hadits yang menguatkan
paparan di atas?”
SUNNI: “Jelas ada. Islam itu datang tidak untuk menghapus
tradisi, tetapi dalam rangkamemperbaiki dan menyempurnakan tradisi. Dalam
hadits diterangkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ. أخرجه أحمد ، وابن سعد
والحاكم وصححه على شرط مسلم. والبيهقى و الديلمى.
“Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Sesungguhnya
aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” (HR. Ahmad [8939], Ibnu Sa’ad (1/192), al-Baihaqi [20571-20572], al-Dailami
[2098], dan dishahihkan oleh al-Hakim sesuai dengan syarat Muslim (2/670
[4221]).
Dalam banyak tradisi,
seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur, dan Islam pun datang
untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, kita dapati beberapa hukum syari’ah dalam Islam diadopsi dari tradisi jahiliah seperti
hukum qasamah, diyat ‘aqilah,
persyaratan kafa’ah
(keserasian sosial) dalam pernikahan, akad qiradh (bagi hasil), dan
tradisi-tradisi baik lainnya dalam Jahiliyah. Demikian diterangkan dalam
kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa Asyura, juga berasal dari tradisi
Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan
Muslim.
Islam juga sangat toleran
terhadap tradisi. Dalam hadits lain diterangkan:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رضي الله
عنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثََ أَحَدًا مِنْ
أََصْحَابِهِ فِيْ بَعْضِ أَمْرِهِ ، قَالَ : «بشِّروا ، ولا تُنَفِّرُوا ، ويسِّروا ولا تُعَسِّروا». رواه مسلم.
“Abu
Musa al-Asy’ari
radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Apabila
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan
berpesan: “Sampaikanlah
kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan
jangan mempersulit.”
(HR. Muslim [1732]).
Hadits di atas memberikan
pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan
orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan
menerima system dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi,
suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan
lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka. Oleh karena
itu dalam konteks ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً
يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ
أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه البخاري
“Dari
Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya,
mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka
mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka.” (HR. al-Bukhari [2581]).
Dalam riwayat lain
disebutkan:
أَمَّا وَاللهِ لاَ يَدْعُونِي الْيَوْمَ إِلَى خُطَّةٍ
، يُعَظِّمُونَ فِيهَا
حُرْمَةً ، وَلاَ
يَدْعُونِي فِيهَا إِلَى صِلَةٍ إِلاَّ
أَجَبْتُهُمْ إِلَيْهَا. رواه ابن أبي شيبة
“Ingatlah,
demi Allah, mereka (orang-orang musyrik) tidak mengajakku pada hari ini
terhadap suatu kebiasaan, dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, dan tidak
mengajukku suatu hubungan, kecuali aku kabulkan ajakan mereka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, [36855]).
Hadits di atas memberikan
penegasan, bahwa Islam akan selalu menerima ajakan kaum Musrik pada suatu
tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak Allah dan ikatan silaturrahmi.
Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak anti tradisi.”
Perhatian Islam terhadap
tradisi juga ditegaskan oleh para sahabat, antara lain Abdullah bin Mas’ud yang berkata:
قال عبد الله بن مسعود : مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ
الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ. رواه أحمد وأبو
يعلى والحاكم
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah
baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka
jelek pula menurut Allah.”
(HR. Ahmad, Abu Ya’la
dan al-Hakim).”
WAHABI: “Apa yang Anda paparkan itu kan konsep umum. Kami masih
harus menggugat, apakah konsep tersebut dipraktekkan oleh para ulama sejak
generasi salaf?”
SUNNI: “Anda ini bagaimana, diberi konsep, malah tanya
penerapannya di kalangan ulama. Ya pasti hal tersebut dipraktekkan oleh para
ulama.”
WAHABI: “Mana buktinya bahwa para ulama salaf menerapkan konsep
yang Anda paparkan tersebut.”
SUNNI: “Anda ini lucu, masak ulama salaf tidak mengamalkan
konsep yang sangat jelas dalam al-Qur’an dan hadits? Ya jelas banyak contohnya. Dalam
kitab-kitab hadits diriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ
قَالَ صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ
عَبْدُ اللهِ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صلى
الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِى
بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا
مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا. قَالَ الأَعْمَشُ فَحَدَّثَنِى مُعَاوِيَةُ بْنُ
قُرَّةَ عَنْ أَشْيَاخِهِ أَنَّ عَبْدَ
اللهِ صَلَّى أَرْبَعًا قَالَ فَقِيلَ
لَهُ عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ
الْخِلاَفُ شَرٌّ. رواه أبو
داود والبيهقي
Dari Abdurrahman bin Yazid,
berkata: “Utsman
menunaikan shalat di Mina empat raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at. Bersama Umar dua raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at. Kemudian Utsman menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah bin Mas’ud shalat empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman karena shalat empat raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.” Ia menjawab: “Berselisih dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Perhatikan dalam riwayat di
atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar
radhiyallahu ‘anhuma
menunaikan shalat di Mina (ketika menunaikan ibadah haji, dengan di-qashar) dua
raka’at. Kemudian Khalifah
Utsman tidak melakukan qashar. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mencela Khalifah Utsman karena tidak melakukaan
qashar shalat sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya. Meski begitu,
karena Khalifah Utsman dan umat Islam pada saat itu tidak melakukajn qashar,
Ibnu Mas’ud
juga tidak melakukan qashar, demi menjaga kebersamaan dengan jama’ah, karena berbeda dengan jama’ah suatu keburukan. Lalu Anda bandingkan dengan sikap
sebagian ormas Wahabi di Indonesia, setiap awal Ramadhan dan Syawal selalu
berbeda dengan pemerintah dan mayoritas umat Islam dalam menetapkan waktu
ibadah. Kaum Wahabi juga demikian, senang berbeda dengan umat Islam di
sekitarnya, karena tidak tahu bahwa berbeda dengan mayoritas umat Islam itu
suatu keburukan dalam kacamata ulama salaf.
Dalam kitab-kitab sejarah
disebutkan:
قال محمد بن رافع : " كنت مع
أحمد بن حنبل وإسحاق عند
عبدالرزاق فجاءنا يوم الفطر ، فخرجنا مع
عبدالرزاق إلى المصلى ومعنا ناس
كثير ، فلما
رجعنا من المصلى دعانا عبدالرزاق إلى
الغداء ، فقال
عبدالرزاق لأحمد وإسحاق : رأيت اليوم منكما عجباً
، لمْ
تكبّرا !قال أحمد
وإسحاق : يا أبابكر
، نحن
كنا ننظر إليك : هل تكبّر فنكبّر ؟ فلما رأيناك
لم تكبّر أمسكنا .قال : أنا كنت أنظر إليكما : هل تكبران فأكبّر "
“Muhammad
bin Rafi’
berkata: “Aku
bersama Ahmad bin Hanbal dan Ishaq di tempat Abdurrazzaq. Lalu kami memasuki
hari raya Idul Fitri. Maka kami berangkan ke mushalla bersama Abdurrazzaq dan
banyak orang. Setelah kami pulang dari mushalla, Abdurrazzaq mengajak kami
sarapan. Lalu Abdurrazzaq berkata kepada Ahmad dan Ishaq: “Hari ini saya melihat keaneha pada kalian berdua.
Mengapa kalin tidak membaca takbir?” Ahmad dan Ishaq menjawab: “Wahai Abu Bakar, kami melihat engkau apakah engkau
membaca takbir, sehingga kami juga bertakbir. Setelah kami melihat engkat tidak
bertakbir, maka kami pun diam.” Abdurrazzaq berkata: “Justru aku melihat kalian berdua, apakah kalian
bertakbir, sehingga aku akan bertakbir juga.” (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq, juz 36 hlm
175; dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’juz, 9 hlm 566 ).
Perhatikan dalam riwayat di
atas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih tidak bertakbir
ketika berangkat ke mushalla pada hari raya idul fitri, karena melihat guru mereka,
Imam Abdurrazzaq al-Shan’ani
tidak bertakbir. Sementara Imam Abdurrazzaq tidak bertakbir, karena melihat
kedua muridnya yang sangat alim tidak bertakbir. Suatu budi pekerti yang sangat
bagus, meninggalkan amalan sunnah, karena khawatir menyinggung perasaan orang
di sekitarnya.
Paparan di atas semakin jelas
apabila kita membaca pernyataan al-Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali,
murid Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berkata dalam kitabnya al-Adab al-Syar’iyyah sebagai berikut:
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لاَ
يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلاَّ فِي
الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلاَ
أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي
الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا،
وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ
الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ
قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ
الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ
مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه
ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam
Ibnu ‘Aqil berkata dalam
kitab al-Funun, “Tidak
baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan
masa-masa Jahiliyah…”
Umar berkata: “Seandainya
orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, tentu aku tulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya.
Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal
pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id
(hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir sebagian orang-orang yang melihat akan
ikut-ikutan melakukannya.”
(Al-Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Kaedah di atas sangat jelas,
agar kita mengikuti tradisi masyarakat, selama tradisi tersebut tidak haram.
Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan shalat sunnah qabliyah Jum’at, juga karena tradisi masyarakatnya yang tidak
pernah melakukannya dan menganggapnya tidak sunnah, untuk menjaga kebersamaan
dan kerukunan dengan mereka.
Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama
panutan kaum Wahabi juga berkata:
إذا اقتدى المأموم بمن يقنت
في الفجر أو الوتر قنت
معه ، سواء
قنت قبل الركوع أو بعده
، وإن
كان لا يقنت لم يقنت
معه ، ولو
كان الإمام يرى استحباب شيء
والمأمومون لايستحبونه ، فتركه
لأجل الإتفاق والإئتلاف كان قد
أحسن ... وكذلك لو كان رجل
يرى الجهر بالبسملة فأمّ قوماً
لا يستحبونه أو بالعكس ووافقهم فقد
أحسن
"
“Apabila
makmum bermakmum kepada imam yang membaca qunut dalam shalat shubuh atau witir,
maka ia membaca qunut bersamanya, baik ia membaca qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’. Apabila imamnya tidak membaca qunut, maka ia juga
tidak membaca qunut. Apabila imam berpendapat sunnahnya sesuatu, sementara para
makmum tidak menganggapnya sunnah, lalu imam tersebut meninggalkan sesuatu itu
demi kekompakan dan kerukunan, maka ia telah melakukan kebaikan. Demikian pula
apabila seorang laki-laki berpendapat mengeraskan membaca basmalah dalam
shalat, lalu menjadi imam suatu kaum yang tidak menganjurkannya, atau
sebaliknya, dan ia menunaikan shalat seperti madzhab mereka, maka ia
benar-benar melakukan kebaikan.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 22 hlm 268).
Paparan di atas memberikan
kesimpulan suatu kaedah, bahwa keluar dari tradisi masyarakat itu tidak baik,
selama tradisi tersebut tidak diharamkan dalam agama. Kaedah tersebut
didasarkan pada al-Qur’an,
hadits, atsar para sahabat dan ulama salaf yang shaleh. Para ulama salaf yang
shaleh terkadang meninggalkan amalan sunnah, semata menjaga kebersamaan dengan
kaumnya yang menganggapnya tidak sunnah, sebagaimana banyak diceritakan dalam
kitab-kitab sejarah dan hadits. Tidak jarang pula fatwa-fatwa para ulama juga
berubah sesuai dengan perubahan tradisi, sebagaimana ditegaskan dalam
kitab-kitab ushul fiqih dan qawa’id. Terdapat sebelas macam kaedah fiqih yang berkaitan
dengan tradisi. Bahkan Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah sangat membela kaedah
tradisi berikut ini:
تتغير الأحكام بتغير الأحوال والأزمان
“Hukum-hukum
agama dapat berubah sebab perubahan tradisi dan perkembangan zaman.”
Hal tersebut sebagaimana
ditegaskan dalam kitabnya A’lam al-Muwaqqi’in. Tentu saja hukum-hukum yang berubah sebab tradisi
bukan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan nash yang mutlak seperti wajibnya
shalat lima waktu dan semacamnya.
Kiranya paparan sekelumit ini
menjadi pelajaran bagi kita tentang pentingnya menjaga tradisi yang baik dan
tidak bertentangan dengan agama.”.
WAHABI: “Owh, begitu ya. Terima kasih.”
Oleh Kiai Muhammad Idrus
Ramli