- Back to Home »
- lain-lainnya »
- DIALOG SUNNI VS WAHABI MENGENAI MAULID NABI
Posted by : 'Asyirah Aswaja Sumut
Senin, 19 Januari 2015
Wahabi: “Mengapa anda mengerjakan Maulid. Padahal itu bid’ah.”
Sunni: “Maulid itu perbuatan baik, dan setiap kebaikan
diperintah oleh agama untuk
dikerjakan.”
Wahabi: “Mana dalilnya?.”
Sunni: “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:
ﻭَﺍﻓْﻌَﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Kerjakanlah semua kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. al-Hajj : 77).
Maulid itu termasuk kebaikan,
karena isinya sedekah, mempelajari sirah Nabi SAW dan membaca shalawat. Berarti
masuk dalam keumuman perintah dalam ayat tersebut.”
Wahabi: “Itu kan dalil umum. Tolong carikan dalil khusus dalam
al-Qur’an yang menganjurkan
Maulid.”
Sunni: “Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, tolong jelaskan
dalil anda yang melarang Maulid.”
Wahabi: “Dalil kami sangat jelas. Maulid itu termasuk bid’ah. Setiap bid’ah pasti sesat.
Rasulullah SAW bersabda: “Kullu bid’atin dholalah.”Setiap bid’ah adalah sesat.”
Sunni: “Ah, kalau begitu dalil anda sama dengan dalil kami,
sama-sama dalil umum. Yang saya minta adalah, jelaskan ayat atau hadits yang
secara khusus melarang maulid.”
Di sini, ternyata si Wahabi
mati kutu, dan tidak bisa menjawab.
Akhirnya si Sunni berkata: “Anda percaya kepada Syaikh Ibnu Taimiyah?”
Wahabi: “Ya tentu. Beliau itu Syaikhul Islam, ulama besar, dan
inspirator dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
an-Najdi, panutan kami kaum Wahabi.”
Sunni: “Syaikh Ibnu Taimiyah, membenarkan dan menganjurkan
Maulid, dalam kitabnya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 621.” Lalu si Sunni menunjukkan teks asli kitab tersebut.
Akhirnya si Wahabi terkejut dan terperangah. Mukanya seketika menjadi pucat.
Kitab tersebut, dia bolak balik, ternyata penerbitnya juga orang Wahabi di
Saudi Arabia. Akhirnya ia berkata:
Wahabi: “Syaikh Ibnu Taimiyah itu manusia biasa. Bisa salah dan
bisa benar. Masalahnya
Maulid ini tidak memiliki
dasar agama yang dapat dipertanggung jawabkan.”
Sunni: “Menurutmu, dasar agama itu apa saja?”
Wahabi: “Al-Qur’an dan Sunnah saja. Selain itu tidak ada lagi.”
Sunni: “Sekarang saya bertanya kepada Anda. Bagaimana hukum
seorang anak memukul orang tuanya?”
Wahabi: “Jelas haram dan dosa besar.”
Sunni: “Tolong jelaskan dalil al-Qur’an atau hadits yang melarang memukul orang tua.”
Wahabi: “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an;
ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻘُﻞْ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺃُﻑٍّ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻨْﻬَﺮْﻫُﻤَﺎ
“Maka
janganlah kamu berkata uff kepada kedua orang tua dan jangan pula membentaknya.”
Dalam ayat tersebut, Allah
melarang seorang anak berkata uff, atau berdesis terhadap orang tua, karena
jelas akan menyakiti mereka. Apabila berkata uff saja dilarang karena
menyakiti, apalagi memukul. Tentu lebih berat dalam hal menyakiti, dan
keharamannya lebih berat pula dari pada sekedar berkata uff.”
Sunni: “Owh, ternyata di sini Anda menggunakan
dalil Qiyas. Tadi Anda
berkata, dalil itu hanya al-Qur’an dan Sunnah. Sekarang justru Anda
menggunakan dalil Qiyas.
Berarti Anda mengakui Qiyas termasuk dalil, selain al-Qur’an dan Sunnah.”
Wahabi: “Ini kan Qiyas aulawi, dalam artian hukum yang
dihasilkan oleh produk Qiyas, lebih kuat dari pada yang ditunjuk oleh teks.”
Sunni: “Harusnya Anda tidak membatasi dalil pada al-Qur’an dan Sunnah saja. Tetapi juga
menyebutkan Qiyas,
sebagaimana dipaparkan oleh seluruh ulama salaf. Anda tahu, bahwa menurut teori
Ushul Fiqih, yang juga diakui oleh Ibnu Taimiyah, produk hukum Qiyas aulawi,
lebih kuat dari pada hukum yang diproduk oleh teks. Dalam artian, memukul orang
tua lebih haram dan lebih besar dosanya dari pada hanya sekedar berkata uff,
karena volumenya dalam menyakiti lebih keras.”
Wahabi: “Di mana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan itu?”
Sunni: “Dalam kitab al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh.” Kemudian si Sunni menunjukkan teks
pernyataan Ibnu Taimiyah
dalam kitab tersebut. Akhirnya si Wahabi semakin senang, karena
kesimpulan hukumnya sesuai
dengan kaedah yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam-nya.
Wahabi: “Terus apa hubungan pertanyaan Anda, dengan persoalan
Maulid yang kita diskusikan?”
Sunni: “Hukum memukul orang tua lebih haram dari pada sekedar
berkata uff. Logikanya begini, Anda tahu mengapa umat Islam dianjurkan puasa
Asyura?”
Wahabi: “Ya saya tahu. Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim
diriwayatkan:
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ
- ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ - ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺪِﻡَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔَ
ﻓَﻮَﺟَﺪَ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻳَﺼُﻮﻣُﻮﻥَ ﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻋَﻦْ
ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ
ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﺃَﻇْﻬَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻴﻪِ ﻣُﻮﺳَﻰ ﻭَﺑَﻨِﻰ ﺇِﺳْﺮَﺍﺋِﻴﻞَ ﻋَﻠَﻰ
ﻓِﺮْﻋَﻮْﻥَ ﻓَﻨَﺤْﻦُ
ﻧَﺼُﻮﻣُﻪُ ﺗَﻌْﻈِﻴﻤًﺎ ﻟَﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -
« ﻧَﺤْﻦُ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﻤُﻮﺳَﻰ
ﻣِﻨْﻜُﻢْ » . ﻓَﺄَﻣَﺮَ ﺑِﺼَﻮْﻣِﻪِ .
“Dari
Ibnu Abbas RA berkata: “Rasulullah
SAW datang ke Madinah, lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa Asyura. Lalu
mereka ditanya, maka mereka menjawab; “Pada hari Asyura ini Allah memenangkan Musa dan Bani
Israil menghadapi Fir’aun,
maka kami berpuasa pada hari tersebut karena mengagungkannya.” Lalu Nabi SAW bersabda: “Kami lebih dekat kepada Musa dari pada kalian.” Maka Nabi SAW memerintahkan umat Islam berpuasa.”
Sunni: “Nah di sinilah hubungannya dengan Maulid. Memukul
orang tua tadi Anda katakana lebih haram dari pada sekedar berkata uff. Kemenangan
Nabi Musa AS layak dirayakan dengan ibadah puasa, sedangkan lahirnya Rasulullah
Muhammad SAW jelas lebih agung dari pada kemenangan Musa. Apabila kemenangan Musa
AS layak dirayakan dengan suatu ibadah, maka sudah barang tentu lahirnya Nabi Muhammad
SAW lebih layak dirayakan dengan acara Maulid.”
Wahabi: “Owh jadi begitu ya, maksudnya. Apakah ada ulama yang
menjelaskan pengambilan hokum Maulid dengan yang Anda sebutkan tadi dari kalangan
ulama besar?”
Sunni: “Ya banyak sekali, antara lain al-Hafizh Ibnu Hajar dan
al-Hafizh al-Suyuthi.”
Wahabi: “Tapi ada satu hal, yang saya kurang setuju dalam
perayaan Maulid. Yaitu berdiri ketika membaca Ya Nabi. Itu jelas tidak ada dasarnya.”
Sunni: “Anda pernah menonton orang-orang Wahabi di Saudi
Arabia, ketika membaca nasyid
(syair atau lagu), secara
berjamaah dan berdiri? Kalau tidak tahu, silahkan Anda cari di Youtube, di situ
banyak sekali. Itu mengapa mereka lakukan?”
Wahabi: “Ya itu kan bernyanyi dan bersyair bersama. Kalau
dengan cara duduk kurang asyik
dan kurang nikmat.”
Sunni: “Maulid juga begitu. Kalau menyanyikan Ya Nabi Salam
sambil duduk, dengan suara yang keras, kurang asyik juga dan kurang terasa khidmat.
Jadil hal ini tidak ada kaitannya dengan wajib atau sunnah.”
Akhirnya si Wahabi mengakui
kebenaran Maulid secara syar'i.
Alhamdulillah. Semoga
bermanfaat