- Back to Home »
- Makalah Aswaja »
- Ramadan Tergantung Karena Zakat Fitrah
Posted by : 'Asyirah Aswaja Sumut
Selasa, 23 Juni 2015
Hadith yang berbunyi:
شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ إِلَى اللهِ إِلاَّ بــِزَكَاةِ الْفِطْرِ
“Bulan Ramadhan tergantung pada langit dan bumi, dan tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan berzakat fitrah” (HR. Ibnu Syahin, Dhiyauddin dan Ibnu Shashari)Yang menjadi pembicaraan disini adalah kritikan Salafi Wahabi terhadap sanad dan matan hadits tersebut.
Dari sisi sanad, hadits ini banyak dinilai lemah oleh pakar ahli hadits. Kerana didalam silsilah sanadnya terdapat perawi yang bernama Muhammad bin Ubaid al-Bashri yang dinilai “majhul”. Dan kita tahu, dalam disiplin ilmu mushthalah hadits, bahwa hadits dengan perawi majhul masuk kategori hadits dhaif biasa, bukan dhaif sekali, sehingga masih ada kesempatan menjadi hasan lighairihi jika ada riwayat lain yang sepadan atau lebih kuat yang mengangkat derajatnya.
Tetapi penilaian berbeza muncul dari Imam Mulla Ali al-Qari. Beliau dalam Mirqah al-Mafatih (VI/129), menyebut hadits di atas adalah hadits hasan yang gharib. Berikut teks perkataannya:
وَفِيْ خَبَرٍ حَسَنٍ غَرِيْبٍ شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ لاَ يُرْفَعُ إِلَى اللهِ إِلاَّ بــِزَكَاةِ الْفِطْرِ
“Dalam hadits hasan gharib: “Bulan Ramadhan tergantung pada langit dan bumi, dan tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan berzakat fitrah”Begitu juga Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj (III/305 syarah asy-Syarwani), bahwa hadits di atas juga dinilai hasan gharib. Mungkin saja penilaian tersebut berangkat dari adanya penguat hadits shahih yang akan disebutkan nanti.
Dengan demikian, karena kelemahan hadits ini (jika kita mengikuti pendapat majoriti ulama yang menilainya lemah) masih dalam peringkat lemah biasa, yaitu hanya karena perawinya majhul, maka dengan tanpa keraguan sama sekali, hadits tersebut boleh diamalkan dalam targhib (motif dalam menakut-nakuti).
Sedangkan dari sisi matan atau kandungan haditsnya, hadits ini dikritik oleh al-Albani dan kaum Salafi Wahabi lainnya. Menurut mereka, makna hadits diatas tidak benar, karena sah dan tidaknya puasa Ramadhan tidak tergantung dengan zakat fitrah.
Menurut saya, penilaian yang demikian itu adalah tergesa-gesa dan terlalu sempit dalam nalar fikihnya. Karena dalam membicarakan hal ini, minimum ada tiga pandangan, yaitu: Pertama, sah dan tidaknya puasa tergantung zakat fitrah. Kedua, diterima dan berpahalanya puasa Ramadhan. Ketiga, zakat fitrah sebagai penambah kesempurnaan pahala puasa Ramadhan. Tentu saja, antara sahnya puasa dengan diterimanya puasa berbeza. Sahnya puasa tidak ada jaminan diterima dan berpahala, tetapi yang diterima puasanya sudah tentu sah puasanya.
Untuk pembicaraan pertama, yakni sah dan tidaknya puasa, bahawa saya setuju jika sah dan tidaknya puasa Ramadhan tidak tergantung zakat fitrah, karena memang syarat puasa Ramadhan tidak ada kewajiban membayar zakat fitrah. Dan bukan ini yang dikehendaki dalam hadits tersebut.
Kemudian pembicaraan kedua dan ketiga, maka biarkanlah al-Hafizh al-Munawi dalam Faidh al-Qadir (II/567) yang menjelaskannya. Beliau berkata:
لاَ يُرْفَعُ إلىَ اللهِ تَعَالى رَفْعَ قَبُوْلٍ إلاَّ
مَصْحُوْباً بِزَكاَةِ الفِطْر أيْ بِإِخْرَاجِها فَقَبُولُه والإِثَابَةُ
عَلَيْهِ مُتَوَقِّفَةٌ عَلىَ إخْرَاجِهَا عَلَى مَا اقْتَضَاهُ ظَاهِرُ
اللفْظِ وَيَحْتَمِلُ أنَّ المُرَادَ لاَ يُرْفَع رَفْعًا تَامَّا
مَرْضِيًّا بَلْ بَعْضًا مِنْه وَيُثَابُ عَلَيْه ثَوَابًا لَا يَبْلُغُ
ثَوَابَ مَنْ أَدَّى زَكَاةَ الفِطْر بَلْ يَكُونُ دُوْنَهُ فِي
الجَزَالَةِ
“Puasa tidak akan diangkat maksudunya diterima oleh Allah kecuali
dibarengi dengan mahu mengeluarkan zakat fitrah. Diterima dan
berpahalanya puasa adalah tergantung dari mengeluarkan zakat, sesuai
dengan lahiriyyah lafazhnya. Ada kemungkinan maksud lain, bahwa puasanya
tidak akan diterima dengan sempurna dan mendapatkan ridha, hanya
sebagian saja yang diterima, dan diberi pahala yang tidak sampai pada
level pahalanya orang yang mengeluarkan zakat fitrahnya, tetapi hanya
sebawahnya dalam hal banyaknya pahala”Dan pengertian seperti ini yang sepertinya tidak difahami oleh al-Albani dan Salafi Wahabi lainnya.
Dan hadits Nabi yang berbunyi:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُـهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang puasa dari omongan-omongan yang tidak berfaidah dan jelek” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)Adalah merupakan penguat hadits di atas. Demikian dikatakan oleh ulama yang menukil hadits di atas.
Dengan demikian, menyalahkan maksud kandungan hadits diatas dengan alasan haditsnya dhaif merupakan sikap yang sangat tergesa-gesa yang muncul dari kecurigaan dan pemikiran sempit, dan tidak selayaknya dilakukan oleh seseorang yang luas dibidang keilmuan. Apalagi hadits ini hanya berbicara tentang targhib yang masih ditolerir berhujjah dengan hadits dhaif.
Ditulis Oleh Ustaz Nur Hidayat