- Back to Home »
- Makalah Aswaja »
- Perbahasan Ringkas Solat Tarawih 20 Rakaat
Posted by : 'Asyirah Aswaja Sumut
Selasa, 23 Juni 2015
Pembicaraan ini bukan terkait dengan masalah berapa jumlah tarawih yang
dikerjakan Rasulullah, tetapi terkait dengan polemik atsar dari Umar bin
Khaththab tentang tarawih yang dikerjakan di zamannya. Pembicaraan ini
tentu sangat menarik karena atsar Umar tersebut merupakan tonggak ijma’
yang selama ini dipedomani kaum ahlussunnah wal jama’ah, bahawa jumlah
rakaat tarawih adalah 20 rakaat.
Ada empat riwayat yang berbeza-beza seputar atsar Saidina Umar bin Khaththab tersebut. Ada yang meriwayatkan tarawih yang dikerjakan Saidina Umar bin Khaththab adalah 20 rakaat dan ditambah witir 3 rakaat (23 rakaat), ada yang menyebutkan 8 rakaat tarawih dan ditambah witir 3 rakaat (11 rakaat) seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, ada yang menyebutkan 8 rakaat tarawih dan witir 5 rakaat (13 rakaat), dan ada yang menyebutkan 20 rakaat tarawih dan witir 1 rakaat (21 rakaat).
Riwayat Pertama: Tarawih 20 rakaat
Riwayat Yazid bin Khushaifah dari Saib bin Yazid. Ia berkata:
Riwayat Kedua: 11 rakaat (8 tarawih dan 3 witir)
Diriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Ia berkata:
Riwayat ini dikuatkan dengan ucapan al-Juri dari Malik:
Menurut al-Albani, ucapan ini dianggap pengingkaran Malik kepada tarawih 20 rakaat.
Riwayat Ketiga: 13 rakaat (8 tarawih dan 5 witir)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (IV/254) menyebutkan riwayat dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Ia berkata:
Riwayat Keempat: 21 rakaat (20 tarawih dan 1 witir)
Riwayat dari Saib bin Yazid. Ia berkata:
Hadits ini shahih.
Apa buktinya?
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, sebagaimana dinukil dalam Umdah al-Qari (XVII/156), berkata:
Imam Tirmidzi dalam Sunan berkata:
Al-Hafizh Abu Zur’ah al-Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib (III/406):
Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawa al-Kubra (II/250) menulis:
Artinya, riwayat tarawih 20 adalah yang terakhir diamalkan shahabat sehingga itulah riwayat yang diterima oleh ulama ulama muslimin.
Bahkan, jikapun riwayat-riwayat diatas tak bisa dihimpun, sebagaimana klaim sebagian kaum Salafi Wahabi, maka seharusnya riwayat tarawih 20 rakaat adalah lebih unggul, karena banyak sekali penguat dari riwayat lain.
Salah satunya adalah riwayat shahih dari Saib bin Barqan berikut:
Dalam Hasyiyah syarah Ma’ani al-Atsar (I/352), Syaikh Muhammad Zuhri menilainya sanadnya shahih. Dan ini merupakan tamparan buat mereka yang mengatakan tidak ada penguat yang shahih.
Lebih jauh dikatakan, riwayat tarawih di zaman Umar 11 rakaat justru dinilai al-Hafizh Ibnu Abdil Bar dalam al-Istidzkar (II/69) sebagai gagal faham.
Bahkan, jika hanya karena perbedaan riwayat langsung dihukum idhthirab, maka seharusnya riwayat tarawih 11 rakaat juga harus dihukum idhthirab karena kadang disebut 11 rakaat dan kadang disebut 13 rakaat.
Ditulis Oleh Ustaz Nur Hidayat
Ada empat riwayat yang berbeza-beza seputar atsar Saidina Umar bin Khaththab tersebut. Ada yang meriwayatkan tarawih yang dikerjakan Saidina Umar bin Khaththab adalah 20 rakaat dan ditambah witir 3 rakaat (23 rakaat), ada yang menyebutkan 8 rakaat tarawih dan ditambah witir 3 rakaat (11 rakaat) seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, ada yang menyebutkan 8 rakaat tarawih dan witir 5 rakaat (13 rakaat), dan ada yang menyebutkan 20 rakaat tarawih dan witir 1 rakaat (21 rakaat).
Polemik ini muncul karena tuduhan
sebahagian Salafi Wahabi, bahawa yang shahih dan mahfuzh dari empat
riwayat yang ada adalah riwayat 11 rakaat. Sedangkan riwayat 21 rakaat,
13 rakaat, dan 23 rakaat dianggap syadz sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
Riwayat Yazid bin Khushaifah dari Saib bin Yazid. Ia berkata:
كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً
“Para shahabat di masa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di bulan Ramadhan menjalankan (tarawih) duapuluh rakaat” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra)
Atsar ini shahih menurut Imam an-Nawawi dalam Khulasha al-Ahkam (I/576) dan al-Majmu’ (IV/32), al-Hafizh az-Zaila’i dalam Nashb ar-Rayah (II/154), al-Hafizh al-Iraqi dalam Tharh at-Tastrib (III/97), al-Hafizh Badruddin al-Aini dalam Umdah al-Qari (VIII/485), al-Hafizh as-Suyuthi dalam al-Mashabih fi Shalah at-Tarawih (I/337), dan lain-lain.
Kemudian datang al-Albani yang taqlid kepada al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi
yang melemahkan hadits tarawih 20 rakaat diatas. Dan penilaian ini
kemudian diikuti oleh pengikut mereka hingga sama sekali tidak
mengindahkan penilaian huffazh-huffazh yang telah disebutkan. Padahal
dari sisi lain, dalam ilmu jarh wa ta’dil, jika ada hadits yang
sudah dinilai shahih oleh para huffazh hadits tanpa perselisihan sama
sekali, maka ulama muta’akhirin tak diperkenankan mengkaji ulang
kembali.
Mungkin inilah salah contoh fanatik bermanhaj bagaimana mereka lebih
percaya penilaian al-Albani ketimbang Imam an-Nawawi dan lain-lain.Riwayat Kedua: 11 rakaat (8 tarawih dan 3 witir)
Diriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Ia berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Umar bin Khathathab memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamim ad-Dari
untuk menjadi imam orang-orang melaksanakan shalat 11 rakaat” (Dikeluarkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’)Riwayat ini dikuatkan dengan ucapan al-Juri dari Malik:
الَّذِي جَمَعَ عَلَيْهِ النَّاسَ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ
أَحَبُّ إِلَيَّ وَهُوَ إحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً وَهِيَ صَلاَةُ رَسُولِ
الله صَلَّى الله علَيه وسلَّم قِيْلَ لَهُ : إحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً
بِالوِتْرِ ؟ قَالَ : نَعَمْ وَثَلاَثَ عَشَرَةَ قَرِيْبٌ
“Tarawih yang orang-orang dikumpulkan oleh Umar bin Khaththab lebih
aku sukai. Yaitu 11 rakaat. Itulah shalatnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam”. Kemudian ditanyakan kepada Malik: “11 rakaat dengan
witirnya?”. Malik menjawab: “Betul, dan 13 lebih mudah”.Menurut al-Albani, ucapan ini dianggap pengingkaran Malik kepada tarawih 20 rakaat.
Riwayat Ketiga: 13 rakaat (8 tarawih dan 5 witir)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (IV/254) menyebutkan riwayat dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Ia berkata:
كُنَّا نُصَلِّي زَمَنَ عُمَرَ فِيْ رَمَضَانَ ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً
“Kami shalat (tarawih) di zaman Umar di bulan Ramadhan adalah 13 rakaat”.Riwayat Keempat: 21 rakaat (20 tarawih dan 1 witir)
Riwayat dari Saib bin Yazid. Ia berkata:
اِنَ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ فِيْ رَمَضَانَ عَلَى أُبَيّ
بنِ كَعْبٍ وَعَلَى تَمِيْمٍ الدَّارِيّ عَلَى إحْدَى وَعِشْرِيْنَ
رَكْعَةً
“Sesungguhnya Umar mengumpulkan orang-orang dibawah pimpinan shalat Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari 21 rakaat” (Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)Hadits ini shahih.
Dengan riwayat yang berbeza-beza ini,
Salafi Wahabi mentarjihnya dan mengatakan, bahwa riwayat 11 rakaat
adalah paling rajih. Sedangkan riwayat tarawih 20, baik dengan witir 1
atau 3 dianggap syadz. Syadz adalah jenis hadits lemah. Ditambah lagi
tuduhan bahwa riwayat tarawih 20 haditsnya terjadi idhthirab (kegoncangan), yaitu kadang disebut 23 dan kadang disebut 21. Dan itu juga diklaimnya sebagai tambahan kelemahan.
Alasan mereka, bahwa Yazid bin
Khushaifah, perawi hadits tarawih Umar 20 rakaat dianggap kalah “tsiqah”
dibandingkan dengan Muhammad bin Yusuf, perawi hadits tarawih Umar 8
rakaat. Muhammad bin Yusuf dinilai al-Hafizh Ibnu Hajar “tsiqah tsabt”,
sementara Yazid bin Khushaifah hanya dinilai “tsiqah”. Dengan demikian,
menurut teori ilmu hadits al-Albani, hadits tarawih 20 rakaat adalah syadz. Syadz adalah hadits shahih yang menyelisih hadits shahih lain yang lebih kuat atau lebih banyak perawinya.
Tetapi benarkah demikian?
Menurut saya, ada kesalahan ilmiyyah
ketika menuduh riwayat tarawih 20 riwayat syadz. Bukankah hadits tarawih
20 rakaat diterima oleh segenap ulama, bahkan Ibnu Taimiyyah dan ulama
Salafi Wahabi sendiri di Masjidil Haram juga melaksanakan tarawih 20
rakaat? Bukankah pula dalam kajian ilmu mushthalah hadits, ketika ada
hadits yang diterima oleh ulama dalam amal dan fatwa, maka status hadits
tersebut maqbul atau diterima, walaupun sanad hadits tersebut lemah.
Al-Hafizh as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi (I/76) berkata:
يُحْكَمُ لِلْحَدِيْثِ بِالصِّحَّةِ إِذَا تَلَقَّاهُ النَّاسُ بِالقَبُولِ وَإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إسْنَادٌ صَحِيْحٌ
“Hadits dihukumi shahih ketika diterima oleh ulama meski sanadnya tidak shahih”
Apa buktinya?
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, sebagaimana dinukil dalam Umdah al-Qari (XVII/156), berkata:
وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُوْرُ
العُلَمَاءِ وَبِهِ قَالَ الكُوْفِيُّونَ وَالشَّافِعِيّ وَأَكْثَرُ
الفُقَهَاءِ وَهُوَ الصَّحِيْحُ عَنِ أُبَيّ بنِ كَعْبٍ مِنْ غَيْرِ
خِلاَفٍ مِنَ الصَّحَابَةِ
“Tarawih 20 adalah pendapat majoriti ulama. Dan inilah yang dikatakan
ulama Kufah, Imam asy-Syafi’i, dan kebanyakan ahli fikih. Dan itulah
yang shahih dari Ubay bin Ka’b dengan tanpa ada perselisihan dari
shahabat”.Imam Tirmidzi dalam Sunan berkata:
وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ
وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَابْنِ
الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وقَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ
بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً
“Dan kebanyakan ahli ilmu mempedomani yang diriwayatkan dari Umar,
Ali dan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain yang
bertarawih 20 rakaat. Itulah pendapat Imam Tsauri, Imam Ibnu Mubarak,
dan Imam asy-Syafi’i. Imam asy-Syafi’i berkata: “Demikian itu aku temui
di daerah kami, Mekkah yang shalat tarawih 20 rakaat”.Al-Hafizh Abu Zur’ah al-Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib (III/406):
وَبِهَذَا أَخَذَ أَبُو حَنِيفَةَ وَالثَّوْرِيُّ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَالْجُمْهُورُ
“Dan dengan ini (tarawih 20 rakaat) diambil Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad dan mayoritas ulama”.Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawa al-Kubra (II/250) menulis:
قَدْ ثَبَتَ أَنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ كَانَ يَقُومُ بِالنَّاسِ عِشْرِينَ رَكْعَةً فِي قِيَامِ رَمَضَانَ وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ فَرَأَى كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ
“Sungguh telah tetap, Ubay bin Ka’b
melakukan tarawih Ramadhan bersama para shahabat sebanyak 20 rakaat dan
witir 3 rakaat. Maka banyak ulama memandang bahwa itulah sunnah, karena
itu dikerjakan ditengah-tengah shahabat muhajirin dan anshar serta tidak
ada yang inkar”.
Apakah ini bukan merupakan bukti shahih diterimanya riwayat tarawih 20 rakaat?
Dalam literatur kitab-kitab musthalah
hadits, jika ada hadits yang lahiriyyah bertentangan satu dengan yang
lain, seperti atsar tentang tarawih ini, maka kewajiban kita adalah
menghimpun semuanya, bukan memvonis naskh atau bahkan mentarjihnya. Dan
faktanya, hadits-hadits yang riwayatnya berbeza-beza tersebut masih
boleh dihimpun.
Untuk atsar tarawih 11 rakaat dengan atsar tarawih 23 rakaat, al-Hafizh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Baihaqi (II/496) mengomentari:
وَيُمْكِنُ الجَمْعُ بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ بِأَنَّهُمْ
كاَنُوْا يَقُوْمُوْنَ بِإِحْدَى عَشَرَةَ ثُمَّ كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ
بِعِشْرِيْنَ وَيُوْتِرُونَ بِثَلاَثٍ.
“Masih mungkin menggabungkan antara dua riwayat, bahawa para shahabat
melaksanakan tarawih 11 rakaat, kemudian melaksanakan 20 rakaat tarawih
dan melakukan witir 3 rakaat”.Artinya, riwayat tarawih 20 adalah yang terakhir diamalkan shahabat sehingga itulah riwayat yang diterima oleh ulama ulama muslimin.
Bahkan, jikapun riwayat-riwayat diatas tak bisa dihimpun, sebagaimana klaim sebagian kaum Salafi Wahabi, maka seharusnya riwayat tarawih 20 rakaat adalah lebih unggul, karena banyak sekali penguat dari riwayat lain.
Salah satunya adalah riwayat shahih dari Saib bin Barqan berikut:
كُنَّا نَقُوْمُ زَمَنَ عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ
“Kami di zaman Umar bin Khaththab melakukan tarawih 20 rakaat dan witir” (Dikeluarkan oleh Baihaqi)Dalam Hasyiyah syarah Ma’ani al-Atsar (I/352), Syaikh Muhammad Zuhri menilainya sanadnya shahih. Dan ini merupakan tamparan buat mereka yang mengatakan tidak ada penguat yang shahih.
Lebih jauh dikatakan, riwayat tarawih di zaman Umar 11 rakaat justru dinilai al-Hafizh Ibnu Abdil Bar dalam al-Istidzkar (II/69) sebagai gagal faham.
هَذَا كُلُّهُ يَشْهَدُ بِأَنَّ الرِّوَايَةَ بِإحْدَى
عَشَرَةَ رَكْعَةً وَهْمٌ وَغَلَطٌ وَأَنَّ الصَّحِيْحَ ثَلاَثٌ
وَعِشْرُوْنَ وَإحْدَى وَعِشْرُوْنَ رَكْعَةً وَالله أعْلَم
“Ini semua membuktikan bahwa riwayat 11 rakaat adalah salah sangka
dan kesalahan. Dan yang shahih adalah 23 rakaat dan 21 rakaat”.
Jika dikatakan, atsar tarawih 20 rakaat adalah idhthirab,
karena kadang disebutkan 23 dan kadang 21, maka dapat dijawab bahwa
tuduhan tersebut tak bisa diterima. Karena, selama hadits yang
berbeda-beda riwayatnya tersebut masih boleh dihimpun sudah cukup
sebagai penafian idhthirab. Karena ada kemungkinan witir dilaksanakan 1 rakaat dan kadang 3 rakaat.
Dan berikut penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (IV/253):
وَالاِخْتِلاَفُ فِيْمَا زَادَ عَنِ العِشْرِيْنَ رَاجِعٌ
إِلَى الاخْتِلَافِ فِيْ الوِتْر وَكأَنّهَ كاَن َتَارَةً يُوْتِرُ
بِوَاحِدَةٍ وَتَارَةً بِثَلاَثٍ
“Perbedaan dalam riwayat tarawih yang lebih dari 20 rakaat adalah
kembali kepada perbedaan dalam witir. Dan seakan-akan suatu waktu witir
dengan satu rakaat dan suatu waktu dengan 3 rakaat”.Bahkan, jika hanya karena perbedaan riwayat langsung dihukum idhthirab, maka seharusnya riwayat tarawih 11 rakaat juga harus dihukum idhthirab karena kadang disebut 11 rakaat dan kadang disebut 13 rakaat.
Ditulis Oleh Ustaz Nur Hidayat