- Back to Home »
- Makalah Aswaja »
- Doa Berbuka Puasa
Posted by : 'Asyirah Aswaja Sumut
Selasa, 23 Juni 2015
Antara Redaksi doa berbuka puasa yang masyhur terutama di Nusantara ialah:
كَانَ الـنَّبــِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَإِذَا
أَفْطَرَ قَالَ بــِسْمِ اللهِ اَللَّـهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى
رِزْقـِكَ أَفْطَرْتُ فَـتــَقَـبَّلْ مِنِّيْ إِنــَّكَ أَنـــْتَ
السَّمِيْعُ الْعَلِـيْمُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka puasa, beliau berdoa: “Dengan nama Allah, ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizqi-Mu aku berbuka. Maka terimalah puasaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (HR. Abu Daud dll.)
Hadits do’a berbuka puasa ini
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan “mursal” (dalam sanadnya tidak
disebutkan shahabat perawi haditsnya) dari Tabi’in Mu’adz bin Zuhrah.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath dari Abdullah bin Abbas secara “marfu’” yang dhaif sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab (VI/362). Juga diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dalam al-Afrad dari Anas bin Malik.
Hadits mursal riwayat Abu Daud di atas dinilai “hasan” oleh banyak ulama, seperti Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib, Imam ar-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj dan lain-lain.
Al-Hafizh al-Munawi dalam Faidh al-Qadir (V/130), mengutip dari al-Hafizh Ibnu Hajar, berkata:
عَنْ مُعَاذ بنِ زُهْرَةَ
وَيُقَالُ أَبُو زُهْرَة الضَّبِّي التَّابِعِيّ قَالَ فِيْ التَّقْرِيْبِ
كَأَصْلِه : مَقْبُولٌ أَرْسَلَ حَدِيْثًا
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, dikatakan dia adalah Abu Zuhrah adh-Dhabbi at-Tabi’i. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Taqrib, sebagaimana dalam kitab asalnya, Mu’adz adalah perawi maqbul yang memursalkan hadits”.
Bahkan, al-Hafizh al-Munawi juga menyebutkan, jika Ibnu Hibban memasukkan Mu’adz bin Zuhrah dalam kitabnya ats-Tsiqat.
Dengan demikian dapat dipastikan, Mua’adz tersebut tidak majhul tetapi perawi tsiqah.
Sementara itu, al-Albani dalam kitabnya Shahih Sunan Abi Daud (II/264) saat memberikan alasan lemahnya hadits Abu Daud diatas, berkata:
قُلْتُ: إِسْنَادُهُ ضَعِيْفٌ مُرْسَلٌ؛ مُعَاذُ هَذا تَابِعِيّ مَجْهُولٌ، وَبِالاِرْسَال أَعَلَّهُالحاَفِظُ المُنْذِرِيّ
“Aku (al-Albani) berkata: “Sanadnya
dhaif mursal, Mu’adz ini adalah tabi’in yang majhul, dan mursal adalah
illat sebagaimana yang disebutkan al-Hafizh al-Mundziri”
Menurut saya yang dhaif ini, penilaian
tersebut sangatlah aneh. Jika hadits tersebut dinilai dhaif disebabkan
sisi mursal-nya, sebagaimana ahli hadits yang mengkategorikan hadits
mursal sebagai hadits dhaif, saya setuju itu. Tetapi jika penilaian
dhaif tersebut disebabkan tabi’in Mu’adz bin Zuhrah yang dianggap
majhul, maka penilaian tersebut sangat bertentangan dengan penilaian
al-Hafizh Ibnu Hajar dan Ibnu Hibban di atas.
Ada kemungkinan, hadits diatas adalah hadits maushul (bukan mursal). Al-Munawi berkata:
وَيُمْكِنُ كَوْنُ
الحَدِيْثِ مَوْصُوْلاً وَلَوْ كَانَ مُعَاذٌ تَابِعِيّا لِاحْتِمَالِ
كَوْنِ الَّذِي بَلَّغَه لَه صَحَابِيّ وَبِهَذَا الاِعْتِبَار أَوْرَده
أبُو دَاوُد فِي السُّنَنِ وَ بِالاعْتِبَار الآخَر أَوْرَدَهُ فِي
المَرَاسِيْلِ
“Ada kemungkinan hadits diatas adalah
maushul, meski Mu’adz adalah tabi’in, karena ada kemungkinan yang
menyampaikan kepada dia adalah shahabat. Memandang sisi ini, Abu Daud
memasukkannya dalam as-Sunan, dan memandang dari sisi yang lain ia memasukkannya dalam al-Marasil”
Dan jika betul hadits di atas adalah
maushul, maka statusnya menjadi sangat jelas, bahwa hadits tersebut
adalah hasan dan boleh dijadikan hujjah secara mutlak.
Kalaupun hadits di atas lemah menurut
ahli hadits, karena ke-mursalannya tersebut, maka bukankah majoriti
ulama sepakat bahwa hadits dhaif boleh dijadikan hujjah dalam fadhilah
amal?
Imam Mulla Ali al-Qari dalam Mirqah al-Mafatih (VI/475), ketika membicarakan hadits Abu Daud tersebut, berkata:
قَالَ ابنُ حَجَرٍ: وَهُوَ
مَعَ إرْسَالِهِ حُجَّةٌ فِي مِثْلِ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ الدَّارَقَطْنِي
والطَّبَرَانِيّ رَوَيَاهُ عَن ابنِ عبَّاسٍ بِسَنَدٍ مُتَّصِلٍ لَكِنَّه
ضَعِيْف وَهُوْ حُجَّةٌ أَيْضًا
“Ibnu Hajar berkata: “Hadits tersebut
dengan kemursalannya adalah hujjah dalam masalah seperti itu, juga
ad-Daraquthni dan ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan
sanad muttasil tetapi dhaif. Dan itu juga hujjah”.
Mulla Ali al-Qari juga melanjutkan:
وَحَدِيْثُ ابنِ عبَّاسٍ
أَخْرَجه ابنُ السُّنِّيّ أَيْضاً وَفِي الباَبِ عَنْ أنَسٍ أخْرَجَه
الطَّبَرَاني فِي الأوْسَط، وَهُو أيْضاً ضَعِيف. وَيكُوْن هُو وَحَدِيثُ
ابنِ عبّاسٍ شَاهِداً لِحَدِيْث مُعَاذ يُقَوَّى بِهِمَا
“Hadits Ibni Abbas dikeluarkan oleh Ibnu Sunni juga. Dan dalam bab ini dikeluarkan dari Anas oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath. Juga dhaif. Dan hadits tersebut dan hadits Ibni Abbas dalah syahid terhadap hadits Mu’adz yang menjadi kuat dengan keduanya”.
Dengan demikian, menjadi sebuah kesalahan apabila hadits Abu Daud diatas di nilai lemah secara mutlak.
Sedangkan hadits yang shahih tentang doa berbuka puasa Rasulullah adalah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ
وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berbuka membaca doa: (terjemah)“Rasa haus telah hilang, urat leher telah basah, semoga mendapat pahala insya Allah” (HR. Abu Daud)
Mulla Ali al-Qari juga menyinggung hadits doa puasa di atas yang terdapat tambahan seperti berikut:
اَللَّـهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَى رِزْقـِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka”
Ia berkata: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna benar.”
Juga tambahan bergaris:
اَللَّـهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَى رِزْقـِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”
Juga tidak ada asalnya.
Lalu, apakah dibenarkan berdoa puasa
dengan kalimat lengkap dengan tambahannya seperti diatas? Menurut
pemahaman saya, minimum ada tiga pembahasan terkait dengan jawapan
pertanyaan tersebut. Pertama, anggapan bahwa susunan kalimat tersebut bukan datang dari Rasulullah. Kedua, anggapan bahwa kalimat tersebut dari Rasulullah tetapi sudah bercampur dengan tambahan. Ketiga, anggapan bahwa susunan kalimat tersebut datang dari Rasulullah.
Berdoa dengan kalimat di atas, dengan
dua anggapan yang pertama, tidak menjadi masalah selama tidak diyakini
demikianlah kalimat yang datang dari Rasulullah atau menganggap tambahan
tersebut juga dari Rasulullah. Sementara anggapan yang ketiga adalah
salah anggapan, meski berdoa dengan doa seperti itupun tidak menjadi
masalah.
Mengapa tidak menjadi masalah? karena
dalam doa sebelum berbuka Rasulullah sama sekali tidak menetapkan doa
tertentu, terbukti ada beberapa riwayat berbeza-beza tentang doa buka
puasa tersebut, baik yang shahih atau dhaif. Hal ini mengindikasikan,
Rasulullah tidak menetapkan salah satu yang harus dibaca. Dan jika
demikian, ulama pun tidak melarang menambah kalimat lain selama tambahan
tersebut tidak bertentangan dengan yang disyariatkan, dan faktanya
tambahan tersebut juga tidak bertentangan.
Hal ini mirip dengan anjuran sebahagian
ulama menambahi beberapa kalimat dalam qunut yang datang dari
Rasulullah. Sayyid Abdurrahman ba-Alawi dalam Bughyah al-Mustarsyidin (hal. 47) berkata:
قَالَ فِي البَحْرِ لَوْ زَادَ فِيْه رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ فَحَسَنٌ
“(Ar-Ruyani) dalam al-Bahr berkata: “Andai qunutnya ditambahi “Rabbighfir warham wa Anta Khairurrahimiin” maka itu bagus”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:
إنّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً ما تُرَدُّ
“Sesungguhnya saat berbuka, orang yang puasa memiliki doa yang tidak akan ditolak” (HR. Hakim dan Ibnu Majah)
Hadits ini hanya menganjurkan doa
berbuka puasa, tanpa ada ketentuan manakah yang harus dibaca. Dan tentu
saja boleh saja bagi kita berdoa dengan doa yang datang (ma’tsur) dari
Rasulullah, dan itulah yang afdhal, juga boleh dengan doa buatan atau
doa-doa karangan ulama salaf, karena tidak ada larangan.
Jadi permasalahnnya adalah, bukan
masalah boleh dan tidaknya berdoa dengan doa tambahan di atas, tetapi
masalahnya terletak pada lebih afdhal mana antara tidak menambahi
kalimat lain dalam doa Rasulullah atau menambahi.
Menuduh palsu kalimat doa di atas pun
juga tidak boleh, kecuali ada yang menisbatkannya doa tambahannya
tersebut kepada Rasulullah.
Jika ditanyakan, bukankah dalam ibadah
adalah tauqifi (ada contohnya langsung dari Rasulullah) sehingga tidak
diperkenankan menambah-nambahi, dan doa buka puasa adalah ibadah?
Jawabnya adalah, bahwa ibadah yang bersifat tauqifi dan tidak boleh
diqiyas-qiyaskan adalah ibadah mahdhah atau ibadah yang bersifat
ushuliyyah, bukan yang bersifat furu’iyyah. Sedangkan bacaan doa berbuka
puasa ini bukan ibadah mahdhah tetapi termasuk furu’iyyah. Silakan
rujuk kitab al-Qiyas fil Ibadat karya Ustadz Rami bin Muhammad Jibrin al-Maqdisi dan Mafhum al-Bid’ah karya Dr. Abdul Ilah bin Husain al-Arfaj, atau al-Bid’ah al-Mahmudah wa al-Bid’ah al-Idhafiyyah karya Abdul Fattah bin Shalih Qudaisy al-Yafi’i, atau Iqamat al-Hujjah ala anna Iktsar min at-Ta’abbud Laisa Bid’ah karya Syaikh Abdul Hayyi al-Luknawi yang di tahqiq Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah.
Wallahu A’lam