- Back to Home »
- lain-lainnya »
- KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN
Posted by : 'Asyirah Aswaja Sumut
Selasa, 23 Juni 2015
Hadith yang berbunyi:
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِى رَمَضَانَ لَـتــَمَنَّتْ أُمَّتِى أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُـلَّهَا
“Seandainya para hamba mengetahui keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka berandai-andai agar satu tahun penuh dijadikan bulan Ramadhan” (HR. Ibnu Khuzaimah, Thabarani dan Baihaqi)Sebahagian Salafi Wahabi berkata, bahawa hadits tentang keutamaan bulan Ramadhan tersebut adalah maudhu’ atau palsu mengikuti penilaian al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at.
Menurut saya, sebagai pengkaji hadits seharusnya maklum, bahwa al-Hafizh Ibnul Jauzi adalah ulama hadits yang mudah menilai palsu hadits, bahkan hadits shahih dan hasan-pun pernah ia anggap palsu. Ia adalah kebalikan dari al-Hafizh al-Hakim yang terkenal paling mudah menshahihkan hadits. Dan seharusnya bagi pengkaji hadits, sebagaimana yang dikatakan oleh ulama, penilaian palsu al-Hafizh Ibnul Jauzi tidak boleh dibuat pedoman tetapi harus dicocokkan dengan penilaian huffazh-huffazh hadits yang lain.
Al-Hafizh Ibnu Hajar, sebagaimana kutipan as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi (I/279), berkata:
وَيَتَعَيَّن الاعْتِنَاءُ بانْتِقَاد الكِتَابَيْنِ (اي
المَوْضُوْعَاتِ لابْنِ الجَوْزِي وَالمُسْتَدْرَك للحَاكِم) فَإنّ
الكَلاَمَ فِي تَسَاهُلِهِمَا أَعْدَمَ الانْتِفَاعَ بِهِمَا إلاَّ
لِعَالِمٍ بِالفَنِّ
“Wajib berperhatian dengan melakukan kritik terhadap dua kitab (al-Mudhu’at dan al-Mustadrak),
karena berbicara dalam methode pemudahan keduanya boleh menghilangkan
manfaat terhadap keduanya kecuali bagi orang yang alim dibidang ini”.Mari kita kaji lebih lanjut, apakah huffazh-huffazh hadits lain sependapat dengan al-Hafizh Ibnul Jauzi?
Adalah al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Jami’ al-Kabir (hadits nombor 952) dan Al-Hafizh Ala’uddin al-Muttaqi al-Hindi dalam Kanz al-Ummal (hadits nombor 23715) yang berbeza dan cenderung menyalahkan penilaian palsu al-Hafizh Ibnul Jauzi. Keduanya berkata:
وَأَوْرَدَهُ ابْنُ الجَوْزِىّ فِى المَوْضُوْعَاتِ فَلَمْ يُصِبْ
“Ibnul Jauzi memasukkannya dalam al-Maudhu’at tetapi itu salah”.Al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid (III/141) berkata:
رَوَاهُ أَبُوْ يَعْلَى وَفِيْهِ جَرِيْرٌ بنُ أَيُّوْبَ وَهُوَ ضَعِيْفٌ
“Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan didalamnya terdapat Jarir bin Ayyub (al-Bajali), dan ia dhaif”Inilah penilaian huffazh hadits selain al-Hafizh Ibnul Jauzi. Mereka tidak mengatakan palsu tetapi hanya dhaif.
Kemudian terkait dengan perawi yang bernama Jarir bin Ayyub al-Bajali, sebagaimana yang dikatakan oleh Mulla ali al-Qari dalam Umdah al-Qari (XVI/260) bahwa Imam al-Waki’ dan Ibnu Dakin menilai dia adalah seorang pemalsu hadits, Ibnu Main menilai dia bukan apa-apa, al-Bukhari dan Abu Zur’ah menilai ia munkarul hadits, dan an-Nasai menilai ia adalah matruk haditsnya.
Dengan pandangan pakar hadits terhadap salah satu perawi hadits di atas yang sedemikian rupa itu, maka hadits diatas tidak palsu tapi lemah sekali. Kenapa tidak disebut palsu? Karena huffazh hadits tidak menilainya palsu. Dan antara palsu dengan lemah sekali secara ilmiiyah adalah berbeza. Dan menyamakan status keduanya adalah bentuk ketidak amanahan ilmiyyah.
Kemudian jika dikatakan, apa beza antara hadits maudhu’ (palsu) dengan hadits yang sangat dhaif yang padahal sama-sama tidak dapat diamalkan dalam hal apapun, termasuk fadhail amal? Maka jawabanya adalah, bahwa hadits sangat dhaif apabila ada banyak riwayat yang senada, maka derajatnya boleh naik menjadi dhaif biasa yang boleh diamalkan dalam fadhilah amal, targhib wa tarhib, manaqib dan lain-lain. Sementara hadits palsu selamanya adalah palsu dan tidak akan mungkin terangkat statusnya.
Sayyid Alawi al-Maliki dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail (hal. 248) berkata:
قَالَ الاِمَامُ الرَّمْلِيّ الأحَادِيْثُ
الشَدِيْدَةُ الضُّعْفِ اذاَ انْضَمَّ بَعْضُهَا اِلَى بَعْضٍ يُحْتَجُّ
بِهَا فِي هَذَا البَابِ
“Imam Ramli berkata: “Hadits-hadits yang sangat dhaif ketika
dikumpulkan sebagian darinya ke sebagian yang lain, maka dapat dibuat
hujjah dalam bab ini (fadhail amal dll)”.Bahkan hadits tersebut boleh berubah menjadi hasan lighairihi sebagaimana dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar. Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi (I/177) yang mengutip pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar, berkata.
بَلْ رُبَّمَا كَثُرَتْ الطُرُق حَتَّى أَوْصَلَتْه إلىَ
دَرَجَةِ المَسْتُوْرِ والسَّيّءِ الحِفْظِ بِحَيْثُ إذَا وُجِدَ لَهُ
طَرِيْقٌ آخَرُ فِيْهِ ضَعْفٌ قَرِيْبٌ مُحْتَمِلٌ ارْتَقَى بِمَجْمُوعِ
ذَلِكَ إلىَ دَرَجَةِ الحَسَنِ
“Bahkan, terkadang banyaknya jalan riwayat hingga sampai
kepada derajat perawi mastur dan yang buruk hafalannya, yang jika
ditemukan jalan riwayat lain yang tidak sangat dhaif, maka ia naik ke
darjat hasan sebab perhimpunannya”Ditulis oleh Ustaz Nur Hidayat