- Back to Home »
- Makalah Aswaja »
- Pengertian Bid’ah
Posted by : 'Asyirah Aswaja Sumut
Minggu, 18 Januari 2015
Supaya Jangan Sembarangan
Mengklaim Ahli Bid'ah Kepada Orang Lain (Hakekat Bid'ah Lengkap Dari a Sampai
z, Mewaspadai Wahabi).
Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu
yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa
terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ
اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ
مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ
إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ
لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ
لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ.
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا
مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata
Ibda’ artinya merintis
sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah
penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa
tempat. Kata Ibda’
dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti
dalam firman (Badi’
as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah
Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk
pengertian al-Mubdi’
dan al-Mubda’,
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma
Kuntu Bid’an
Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang
belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang
pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ
فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu
yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam
al-Qur’an maupun dalam
hadits”. (Sharih al-Bayan,
j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa
terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ
البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا
دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara
yang baru (Bid’ah
atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya.
Melainkan Bid’ah
yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang
tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru
yang menyalahi al-Qur’an
dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru
yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا
: مَا أُحْدِثَ ِممَّا
يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا
أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ
اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ
: مَا أُحْدِثَ مِنَ
الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ
هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٍ
(رواه الحافظ
البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara
baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau
dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru
semacam ini adalah bid’ah
yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang
Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam
asy-Syafi’i
berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ
السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ
مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath
al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh
para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli
hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah
para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di
antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih
as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli
bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang
siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda
Rasulullah: “Ma
Laisa Minhu”,
artinya “Yang
tidak sesuai dengannya”,
bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan
tidak menyalahi syari’at
maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua
bagian; Bid’ah
dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah
perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan
para sahabatnya.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam
kitab Itqan ash-Shun’ah
Fi Tahqiq Ma’na
al-Bid’ah, menuliskan bahwa
di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan
ash-Shun’ah,
h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS.
al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا
ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan
Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan
rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka
sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang
adanya bid’ah
hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah
orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa
dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji
mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena
mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi
syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi
dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah
mengatakan “Ma
Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut
atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu
untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka
merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak
diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang
ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh
untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah,
menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana
dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk
beribadah sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn
Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ،
وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ
عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang
siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka
baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala
mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya
dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan
sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan
pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk
Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk
berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits
tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim
ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan
menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang
siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai
dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dengan sangat
jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah
akan mengatakan “Barangsiapa
merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di
atas: “Barangsiapa merintis
hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang
bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak
termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil
syara’, perkara baru
semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan
kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara
baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih
riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang
adanya bid’ah
hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih
berjama’ah ini, dan
mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits Shahih
lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat
dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan
talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu
Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah
ibn ‘Umar ibn al-Khaththab
menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah
diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan
dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah
ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya.
Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور
بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya
shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik
dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang
shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah
ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
“Shalat
Dluha adalah bid’ah,
dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan
oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits
shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat
kepala setelah ruku’,
beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat,
Rasulullah bertanya: “Siapakah
tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku
melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama
mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam
Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan
kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
7. al-Imam an-Nawawi, dalam
kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai
berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى
اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا
قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ".
قُلْتُ:
قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ
الزِّيَادَةِ.
وَقَالَ أَبُوْ
حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah
lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan
kalimat: “Wa
La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa
Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini beberapa contoh
Bid’ah Hasanah. Di
antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali
melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah.
Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ
الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib
adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi
Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat
Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada
sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan
sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan
orang.
Salah seorang dari kalangan
tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua
raka’at ketika seorang
akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua
raka’at shalat sunnah
tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua
orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab
al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama
sebelum shalat Jum’at
oleh sahabat Utsman bin ‘Affan.
(HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik
dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia
dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini
disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua
menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan
bacaan-bacaan al-Qur’an
tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa
titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa
Khalifah ‘Utsman
ibn ‘Affan, beliau
menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap
salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan
titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah
pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam
hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah
melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan
mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud,
putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif
berkata: “Orang
yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan
(hadits) dari sahabat ‘Abdullah
ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan
nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat,
penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan
Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan
alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam
majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab
semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan
al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di
seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu
adalah bid’ah
sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?!
Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi
adalah bid’ah
hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh
al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh
as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar
al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir;
Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh
Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas
Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh
as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab
al-Qaul al-Badi’,
al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar
lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang
beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak
pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah
hanya menuliskan: “Min
Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang
dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat
ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya
berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa
tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak
lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini beberapa contoh
Bid’ah Sayyi-ah. di
antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di
antaranya seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah.
Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak
menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan
manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu
sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan.
Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang
menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa
besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada
posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga
mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan
dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah
Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam
Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan
sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan
bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki
kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka,
manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah
angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak
memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang
mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang
bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi
atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang
tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun
orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama
kali memunculkan bid’ah
sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang
kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan
kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم)
sebagai singkatan dari “Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam
bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab
Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh.
Artinya meskipun ini bid’ah
sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk
juga bid’ah
sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan
panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.
Kerancuan Pendapat Yang
Mengingkari Bid’ah
Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari
adanya bid’ah
hasanah biasa berkata: “Bukankah
Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Ini artinya bahwa setiap
perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap
sebagai bid’ah
sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum
tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi
al-Qur’an, sunnah, ijma'
atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang
telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa
sebagian besar bid’ah
itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j.
6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi
membagi bid’ah
menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka
dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan.
Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang
saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau
berkata: “Ia
(Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam
an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi
di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam
QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف:
25)
Makna ayat ini ialah bahwa
angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan
segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut
menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga
sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang
men-takhshish hadits “Wa
Kullu Bid’ah
Dlalalah”
riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah
disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
==============================
2. Kalangan yang mengingkari
bid’ah hasanah biasanya
berkata: “Hadits
“Man Sanna Fi al-Islam
Sunnatan Hasanatan…”
yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika
Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut
menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah
disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan
-terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan
adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru
sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman,
karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa
hidupku…), atau juga tidak
mengatakan: “Man
‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan,
lalu ia menghidupkannya…).
Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya
yang ada pada masa Rasulullah saja”.
Kita katakan pula kepada
mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah
Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits
Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian
maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus)
dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama
hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
==============================
3. Kalangan yang mengingkari
bid’ah hasanah terkadang
berkata: “Hadits
riwayat Imam Muslim: “Man
Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang
sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu
dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat
keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat
bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak,
kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika
Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan
hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut,
dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah
disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang
dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu
nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun
hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang
harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan
kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan
haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang
umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat
sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui
agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!
===============================
4. Sebagian kalangan yang
mengingkari bid’ah
hasanah mengatakan: “Bukan
hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang
di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai
dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam
ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ
الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ
عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam
hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis
perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari
perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat
pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang
batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam
kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا،
وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda
Rasulullah: “Sunnatan
Hasanatan…”
maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah
sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar
al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ
مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ
كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ
الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara
mengetahui bid’ah
yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara
baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam
syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama
sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang
khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul
hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang
mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan
semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di
dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini juga
dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia
termasuk bid’ah
hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki
keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau
orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama
sekali.
Oleh : Aboufateh