- Back to Home »
- Aqidah »
- HATI-HATI KEKELIRUAN AQIDAH TENTANG NAIK TURUNNYA NABI SAW KETIKA MI'RAJ
Posted by : 'Asyirah Aswaja Sumut
Rabu, 27 Mei 2015
Kesesatan Aqidah yang luar biasa
bahkan menjerumus kepada kekafiran
Adalah meyakini Mi’rajnya Rasulullah
SAW dan bertemu serta berdialog berhadap hadapan dengan Allah SWT di
Sidratul-muntaha dan Mustawa tersebut dan menganggap disitulah tempat Allah
SWT. Dan terbayang sebuah suasana hening saling duduk berhadapan dan berdampingan
antara Allah SWT dengan Rasulullah SAW. Ini jelas-jelas suatu keyakinan yang
sangat menyimpang sehingga pelaksanaan Shalat yang semestinya adalah
penghambaan kepada Allah SWT bisa berubah menjadi penyembahan kepada berhala
yang dihayalkan jika ternyata seorang yang lagi sholat telah meyakini Tuhannya
duduk dan membutuhkan tempat.
Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki
dalam kitabnya "Wa huwa bi al’ufuq al-a’la" yang diterjemahkan oleh
Sahara , publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam pada halaman
284 dan 286 menyampaikan :
Halaman 284 :
"Walaupun dalam kisah mi’raj
yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang
muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak
tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan
kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam
pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu,
tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa
ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala
dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang,
ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu
itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini
disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal
itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan
menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan
penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian
ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan
dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa
untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq".
Halaman 286 :
"Ketahuilah bahwa
bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa
alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu
tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari
hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada
beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau
bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau
berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon
kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat
itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah
dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya
adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu
dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat
permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika
mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam,
tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika
ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah
sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari
arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab
at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki
mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari
Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini
bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia
Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya
kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam
kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci
Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah
ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu
tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada
Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau
shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus
alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala
dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang
tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada
jarak antara Dia dengan mereka. Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya
semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling
rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas
langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan
yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala
sesuatu".